Perawakannya tinggi dan besar. Kulitnya coklat kehitaman.
Rambutnya menjuntai melewati bahu, seringnya digelung ke belakang punggung,
hingga nampak lebih rapi. Pakaiannya yang serba putih, mulai peci, baju, hingga
sarung, cukup kontras dengan kulitnya yang kehitaman. Itulah gambaran sosok
Kiai Ahmad Muwafiq.
Di era digital seperti saat ini, tak sulit menjumpai kiai
kelahiran 2 Maret 1974 ini mengingat video dakwahnya yang beredar luas di
Youtube dan facebook. Ketik saja Gus Muwafiq atau Kiai Muwafiq di mesin
pencarian internet, anda akan menemukan videonya dengan mudah. Beberapa di
antaranya bahkan viral termasuk saat mengomentari Ustad Evie yang menyebut
peringatan Maulid Nabi Muhammad sebagai peringatan atas ‘Kesesatan Sang Nabi’.
Demikian Gus Muwafiq dikenal di era media sosial saat ini
secara luas. Namun yang belum banyak diketahui tentang kiai nyentrik ini adalah
proses sebelum pidato sang kiai ramai menghiasi media sosial, yang justru
proses inilah yang membuatnya berbeda dengan ustad selebritis yang juga ramai
seperti Ustad Evie, Hannan Attaqie dan ustad media sosial lainnya.
Dari kiai kampung ke kiai youtube
Jauh sebelum era medsos dimulai, kiai jebolan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 1990-2001 ini telah aktif melakukan dakwah di berbagai
tempat di sekitar Yogyakarta, termasuk kawasan jawa tengah dan Jawa Timur.
Selama itu pula jiwa sosialnya ditempa melalui organisasi kemahasiswaan;
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ia juga sering terlibat aksi turun jalan
menentang rezim otoritarian Suharto dan menuntut Reformasi.
Dalam urusan berdakwah, bapak empat orang putri ini termasuk
kiai yang sangat konsisten menjalani peran sebagai dai. Di masa awal berdakwah,
di mana era media sosial belum seramai hari ini, Kiai Muwafiq berkeliling dari
satu pengajian ke pengajian lainnya dengan menggunakan motor roda dua. Jika tak
ada jemputan, kiai ini lebih banyak mengendarai motornya menuju lokasi
pengajian.
“Seringnya beliau naik motor ke mana-mana. Biasanya ada yang
nemenin bergantian,” ujar Gus Imdad, pengasuh salah satu pesantren di Wonosobo
yang dulunya menemani Gus Muwafiq berdakwah. Gus Imdad dan rekan-rekannya kala
itu saling bergantian mendapingi Gus Muwafiq menghadiri undangan
pengajian.
Zaman itu, lanjut Imdad tak ada peralatan elektronik seperti handphone dan tripod seperti
saat ini yang perlu dibawa untuk merekam pengajian demi konsumsi dunia maya.
Burhanuddin, santri lain yang kerap mendapingi saat ini mengungkapkan perbedaan
cara mengantarkan kiai saat dulu dan sekarang.
“Biasanya kalau sekarang kami membawa handphone untuk live
streaming atau merekam video untuk diupload ke Youtube dan Facebook,”
tutur Burhan. Selain itu, para santri juga biasanya membawa sebuah kamera
digital untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik. “Sebagian itu juga
inisiatif dari kami para santrinya,” kata dia.
Kiai Muwafiq sendiri pada dasarnya adalah kiai yang adaptif
dan mengikuti deras perkembangan zaman. Di era digital seperti saat ini, Kiai
Muwafiq dan santrinya menyadari perlunya mendokumentasi pengajian. Fenomena era
digital saat ini tentu berbeda jauh dengan sepuluh tahun lalu, saat ia masih
sering mengisi pengajian di tengah mahasiswa.
Kala itu, Gus Muwafiq menggunakan metode yang dekat dengan
kelompok mahasiswa, misalnya menyelingi pidatonya dengan permainan dan
dentingan lagu-lagu perjuangan Iwan Fals, yang memang digemari mahasiswa kala
itu. Sayangnya, tak banyak rekaman yang tersisa dari aktivitasnya di era awal
2000-an itu.
Yang tak terekam di youtube; tirakat puasa dan
pintu rumah yang terbuka
Memang tak semua terekam di media sosial, termasuk bagaimana
kiai melakoni tirakat puasanya yang bertahun-tahun. Tak ada kesaksian yang utuh
di antara para santri mengenai berapa lama puasa yang dijalani sang kiai,
sebagian mengatakan delapan tahun, sebagian lain bilang tujuh tahun.
“Yang jelas, beliau sering bilang, seorang kiai iku minimal
puasanya delapan tahun. Itu diluar puasa sunnah dan wajib seperti Puasa
Ramadhan dan Senin-Kamis,” ujar Gus Imdad. Puasa tahunan ini juga di luar puasa
sembilan bulan yang dilakoni setiap istrinya Nyai Ella, mulai mengandung hingga
melahirkan.
Kiai Muwafiq sendiri tak menghitung berapa tahun tepatnya Ia
berpuasa. Justru yang sering dia katakan adalah pentingnya puasa. “Riyadloh
(puasa) hukume ‘gak kenek dinyang’ (hukumnya tak bisa
ditawar),” katanya. Dari ceritanya, kebiasaan riyadloh ini
dijalaninya sambil melakukan aktivitas mahasiswa pada umunya termasuk sewaktu
menggelar aksi demonstrasi di Yogyakarta hingga di Jakarta di masa Orde
Baru.
Kendati telah dikenal sebagai kiai yang ramai di era
digital, tapi kebiasaan seorang kiai tak pernah lepas dari dirinya, terutama
dalam menerima tamu di rumahnya secara offline. Bisa dikata, pintu
rumahnya terbuka setiap saat. Jenis masalah yang dibawa para tamu juga beragam,
mulai dari persoalan pribadi seperti jodoh, problem domestik keluarga, sampai
sengketa politik dari level desa hingga nasional.
Rumahnya sendiri terbilang sederhana dengan ukuran yang tak
begitu besar hanya sekitar 100 meter persegi. Di depan rumahnya terdapat
beberapa ayam jago piaraannya yang dirawat dengan baik. Pada dindingnya yang
berwarna kuning kehijauan terpampang foto-foto para kiai khos dan
logo NU. Tak ada perabot mahal di sana. Namun justeru yang menarik adalah
beberapa pedang yang menghiasi dinding. Dalam sebuah kesempatan sang kiai
menceritakan kisah dibalik pedang-pedang itu yang terbilang unik.
Kiai Muwafiq sendiri memang memiliki sejumlah hobi sejak
muda; memelihara ayam jago, mengoleksi pedang dan menyanyikan lagu perjuangan.
Ketiga hobi ini di luar kebiasaannya melatih silat beberapa santrinya yang
menguasai ilmu kanuragan. “Memang jadi kiai harus serbabisa, mulai dari
urusan nyuwukorang kena santet, sampek urusan noto (menata)
umat dan negoro (negara). Karena kita tidak tahu siapa dan
situasi seperti apa yang akan kita hadapi. Dulu eranya demonstrasi sekarang
eranya Youtube,” pungkas sang kiai berkelakar. (Ahmad Rozali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar