Daeng Ali Nurdin Daeng Ali Nurdin Abang
Becak di Makassar Berharap Banyak Dilirik Turis
Kamis, 12 September 2019 05:04Reporter : Salviah
Ika Padmasari
Daeng Ali Nurdin (65) masih setia pada profesinya
sebagai pengayuh becak di Makassar. Pekerjaan itu sudah dia lakoni sejak 30 tahun
lalu.
Dan memilih
bertahan meski harus bersaing dengan keberadaan mod transportasi modern
lainnya.
Daeng Ali punya alasan tetap mencintai profesinya.
Apalagi
kalau bukan alasan keuangan. Dia tak memiliki modal untuk mencoba usaha
lainnya.
Meski demikian, Daeng Ali tetap berbesar hati.
Berbekal keahlian berbahasa Inggris membuat Daeng
Ali yakin becaknya akan menjadi pilihan wisatawan asing.
Dia yakin, pelancong asing lebih senang dilayani
dengan Bahasa Inggris.
Harapannya, upah yang didapat jauh lebih besar
dari penumpang lokal.
Itu pula yang menjadi alasan Daeng Ali memilih
mangkal di depan Hotel Pantai Gapura Jl Pasar Ikan, Kecamatan Ujung Pandang.
Lokasinya sekitar 1,6 kilometer dari anjungan Pantai
Losari. Saban hari, dia menunggu para turis yang keluar dari hotel untuk
berkeliling di Makassar.
"Kalau lagi untung, sehari biasa dapat
penumpang bule dengan bayaran Rp150 ribu keliling kota.
Tapi kalau lagi tidak untung, biasanya hanya bawa
pulang Rp5 ribu dari penumpang lokal bahkan terkadang tidak bawa berapapun
pulang ke rumah.
Meski demikian semua harus disyukuri," kata
Daeng Ali saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu (11/9).
Sebelum menjadi tukang, Daeng Ali pernah menjadi
tukang batu dengan pendapatan Rp750 ribu dalam seminggu.
Suatu hari, saat kerja bangunan di Jl Somba Opu,
dilihatnya seorang tukang becak dapat penumpang bule kesusahan berkomunikasi
karena terkendala bahasa.
"Saat itu saya berpikir, kenapa saya tidak
ganti profesi jadi tukang becak saja karena sedikit tahu bahasa Inggris.
Saya cobalah ke Benteng Rotterdam bawa becak
sewaan, dalam sehari ternyata bisa dapat Rp150 ribu jadi kalau seminggu bisa
dapat sejuta lebih.
Jadi tukang batu, hanya Rp750 ribu seminggu,"
ujar Daeng Ali.
Sejak itu, kata Daeng Ali, dirinya menjadi incaran
para turis mancanegara.
Pundi-pundi penghasilan dia kumpulkan sampai
akhirnya bisa membeli becak sendiri.
Tak hanya itu, enam anaknya bisa disekolahkan
sampai tingkat SMA.
"Modal bisa bahasa Inggris bukan dari sekolah
karena hanya tamat SR (Sekolah Rakyat).
Dapatnya dari belajar sendiri saja, ada kamus.
Terus karena sering ketemu bule, saya juga belajar
sama mereka.
Karena bule itu beda dengan kita di Indonesia yang
kalau kita salah bicara, ditertawai. Kalau orang bule, saat kita salah, mereka
bantu perbaiki," tutur Daeng Ali.
Diakui, Bahasa Inggris yang dia tahu umumnya
bahasa harian, perkenalan. Selain itu juga bahasa Jepang, Italia, Prancis secukupnya.
"Kalau saya bawa bule, saya yang mulai tanya
what are you looking for atau apa yang kamu cari. Bulenya menjawab lalu
bertanya balik, you know artinya apakah kamu tahu.
Kalau
mereka mau belanja, saya yang disuruh bertanya ke penjual, kata dia, i dont
understand how much price.
Kalau penjualnya sebut harga Rp1.000, saya sebut
ke bule itu Rp1.000. Saya tidak mau mainkan harga, saya menjaga kepercayaan
orang," kata Daeng Ali Nurdin.
Biasanya, imbuh Daeng Ali, kalau dengan bahasa
Inggris, percakapan lebih panjang.
Beda kalau
bule dari Jepang, Italia atau Prancis karena penguasaan sedikit-sedikit.
Dia pernah begitu terkesan saat membawa turis asal
Belanda bernama Rudolp yang minta diantarkan ke Pulau Samalona.
"Saya dibayari Rp500 ribu yang saat itu nilai
uangnya kalau Rp10.000 bisa dapat beras 3 liter," tuturnya seraya
menambahkan, Rudolp pernah mengirimkan satu kotak pakaian bekas ke Makassar.
Daeng Ali mengakui, tenaganya kini kian berkurang
seiring usia yang telah menua.
Jika dulu membawa turis ke mana pun, kini dia tak
sekuat dulu lagi. Tapi dia tetap bersemangat mencari rezeki.
"Saya kerja sekuatnya saja.
Dapat seribu pun yang penting hasil keringat
sendiri.
Disyukuri semua asalkan tidak mengemis.
Kalau dapat uang sedikit, saya tidak pakai makan
di luar. Lebih baik tidak makan siang dan bawa pulang uang itu untuk makan
dengan istri.
Untuk mengharap ke anak-anak juga tidak bisa
karena penghidupan mereka tidak jauh lebih baik dari saya.
Mereka juga tukang becak dan buruh harian,"
ujar Daeng Ali Nurdin dengan mata berkaca-kaca.
Dari profesinya ini, Daeng Ali bisa menghidupi
seorang istri, Raba (59) dan enam orang anak.
Daeng Ali dan istrinya menghuni rumah petak sewaan
seukuran kamar, 3 x 4 meter di Jl Sultan Abdullah Raya, Kelurahan Kaluku
Boddoa, Kecamatan Tallo. [lia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar